Cerita Kuswanto, Korban Salah Tangkap yang Dibakar Polisi


Pengadilan Negeri Kudus menvonis bersalah LR, anggota Kepolisian Resor Kudus, atas penyiksaan yang dikerjakannya pada terduga pelaku perampokan. LR harus melakukan pidana penjara sepanjang enam bln., pada 12 Desember 2014. 

Masalah yang menjerat LR berawal saat ia berbarengan 12 rekan sejawatnya sesama reserse Polres Kudus membuka perampokan yang berlangsung di suatu toko penjual es cream Walls, di Kudus. 

Dengan kenakan pakaian preman, LR serta rekan-rekannya pergi ke Kafe Perdana di kota kretek, pada 21 November 2012 malam. Disana mereka membawa paksa seseorang pria bernama Kuswanto (29) serta empat orang lain. LR serta koleganya lalu memasukkan mereka ke mobil mereka. 

Dalam perjalanan, anggota-anggota kepolisian itu memaksa lima orang yang mereka tangkap mengakui juga sebagai perampok. Tidak kunjung mengakui, LR serta rekannya memplester suatu lakban ke dua mata Kuswanto. Tanpa ada argumen yang pasti, mereka juga memborgol tangan pria yang memiliki rental mobil itu. 

Maksud mobil Xenia itu nyatanya bukanlah ke Polres Kudus. LR serta aparat kepolisian lain membawa Kuswanto ke lapangan yang bersebelahan dengan Kampus Muria Kudus. Disana LR kembali menekan Kuswanto mengakui juga sebagai perampok. (Saksikan juga : Wali Gereja Laporkan Sangkaan Peradilan Sesat Narkoba ke KY) 

Tidak memperoleh jawaban yang dikehendakinya, LR serta koleganya lalu menyiramkan bensin ke badan Kuswanto. Nyala korek api dalam waktu relatif cepat membakar Kuswanto. 

Tak berhenti hingga di situ, LR serta rekan sekantornya lantas membawa Kuswanto ke Polres Kudus. Bentakan polisi-polisi itu supaya Kuswanto mengaku tindakannya menjumpai jalan buntu. Kuswanto selalu berkukuh tidak lakukan kejahatan apa pun. (Baca juga : Anak Jadi Korban Penganiayaan, Sang Ibu Mencari Keadilan) 

Seseorang penyidik lalu menyiramkan carian yang bikin Kuswanto menjerit lantas tidak sadarkan diri. Penyidik itu lalu membawa Kuswanto ke Rumah Sakit Umum Kudus. Disana, dokter menyebutkan Kuswanto alami luka bakar di wajah, leher dada samping kanan serta perut. (Baca juga : KontraS Dapatkan Bukti Penganiayaan Polisi atas Terpidana Mati) 

Lebih kurang satu tahun sesudah momen itu, orangtua Kuswanto tahu anaknya adalah korban salah tangkap. Polisi temukan pelaku perampokan sesungguhnya. 

Walau sekian, luka bakar di leher Kuswanto terus menganga. Diobati seadanya, sampai akhir th. lantas leher Kuswanto belum berhenti keluarkan cairan berwarna merah kekuningan. 

Diadvokasi beberapa instansi swadaya orang-orang, Kuswanto pergi ke Jakarta dengan duit seadanya. Ia mau melaporkan tindak penyiksaan yang dirasakannya. Kuswanto juga meminta perlindungan. Hingga saat itu ia selalu memperoleh teror dari beberapa orang yang tidak di kenal. 

Cerita Kuswanto itu dikumpulkan Komisi untuk Orang Hilang serta Korban Kekerasan. Tidak cuma perihal Kuswanto, Kontras juga mempunyai data penyiksaan yang dikerjakan anggota kepolisian di beberapa daerah lain. 

“Harus disadari, masih tetap ada praktik penyiksaan di internal Polri. Memanglah benar seperti itu bila data penyiksaan di buka, ” tutur Direktur Reserse Kriminil Umum Polda Metro Jaya, Komisaris Besar Krishna Murti, pada diskusi umum perihal peran negara hentikan penyiksaan, di Jakarta, Kamis (25/6). 

Krishna menyampaikan penyiksaan yang dikerjakan aparat kepolisian pada terduga pelaku kejahatan sering berlangsung disebabkan beban kerja tinggi yang dipikul reserse. Hal semacam itu menurut dia bakal diperparah rendahnya kekuatan polisi dalam membuka sangkaan tindak pidana. 

Menurut catatan Kontras, sepanjang 2014 Polri adalah instansi negara yang seringkali lakukan tindak penyiksaan. Th. lantas, sekurang-kurangnya ada 35 masalah penyiksaan yang melibatkan aparat kepolisian di beberapa daerah. 

Peringkat Polri pada rapor merah ini disusul sipir instansi pemasyarakatan. Beberapa sipir yang bekerja dibawah Direktorat Pemasyarakatan Kementerian Hukum serta Hak Asasi Manusia ini terdaftar ikut serta dalam 15 masalah penyiksaan. Disamping itu, Kontras menyebutkan prajurit TNI pada periode yang sama ikut serta 9 perkara penyiksaan. 

Temuan Kontras tadi diperkuat data Ombudsman. Instansi negara yang mengawasi service umum ini mencatat, sebagian besar penyiksaan dalam sistem penangkapan atau penahanan berlangsung di tingkat polres (66, 7 %). 

Data Ombudsman menunjukkan polres juga sebagai tempat menyeramkan. Anggota Ombudsman Budi Santoso menyampaikan angka kekerasan paling tinggi pada step penyidikan berlangsung di polres (43, 4 %). 

Koordinator Kontras Haris Azhar menuturkan penyiksaan di lingkungan kepolisian berlangsung lantaran minimnya akuntabilitas sistem penegakan hukum. Ia memiliki pendapat, kekerasan ini tumbuh subur lantaran Polri sering merampungkan perkara penyiksaan yang dikerjakan anggotanya lewat mekanisme etik. 

“Selama ini mereka mengutamakan pada sanksi administratif hingga perpanjang rantai impunitas, ” katanya. Ia menyampaikan Polri tak dapat melahirkan dampak kapok untuk beberapa oknum anggotanya.
Share on Google Plus

About Unknown

This is a short description in the author block about the author. You edit it by entering text in the "Biographical Info" field in the user admin panel.

0 komentar:

Posting Komentar